Lebih lanjut, Agus Salim menilainya sebagai bentuk penghinaan kepada kaum ibu dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Sebab, dilakukan pada waktu yang kurang pantas, terutama saat melaksanakan ibadah haji.
Berita perceraian tersebut terdengar oleh Tan Malaka. Ia mencoba kembali untuk meminang cinta pertamanya, Syarifah. Nahas, untuk kedua kalinya ia kembali ditolak.
Setelah diceraikan, Syarifah tidak pernah menikah lagi dan memilih di Bukittinggi. Syarifah kemudian bekerja sebagai kepala sekolah de Meisjes Vervolg School (sekolah lanjutan perempuan) yang didirikan pemerintah kolonial di Bukittinggi. Pekerjaan itu diembannya dalam kurun waktu sepuluh tahun (1927-1937).
Kesedihan kembali menghampiri. Ayah dan sang ibu, meninggalkannya untuk selama-lamanya, masing-masing pada tahun 1928 dan 1937. Setelah itu, ia bersama putri bungsunya memutuskan untuk tinggal di Batavia.
Setelah satu tahun tinggal di Kwitang No. 8, ia pindah ke Laan Bafadel, Meester Cornelis (Jatinegara), dan mulai bekerja sebagai Kepala Sekolah Kemajuan Istri milik Yayasan Kartini yang saat itu diketuai Siti Katidjah, kakak perempuan Achmad Soebardjo.
Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat (1982) disebutkan, selain aktif dalam pendidikan, ia juga aktif dalam organisasi Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) yang didirikan Rasuna Said pada 1912.
Pada akhir 1940, Syarifah termasuk dalam sebuah Komisi Inspeksi Film di Hindia Belanda yang diketuai oleh pensiunan serdadu artileri, Letnan Kolonel R. F. C. Smith.
Pada masa pendudukan Jepang, setelah mengundurkan diri sebagai kepala sekolah, Syarifah melibatkan diri dalam organisasi wanita, Fujinkai. Atas tawaran dari teman-teman Belandanya, ia bersedia untuk pindah tempat tinggal ke Jalan Pegangsaan Barat No. 16. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengelabui militer Jepang yang kapan saja dapat merampas rumah dan aset-aset mereka.