Porosnusantara.co.id – Boleh atau tidaknya potong kuku dan rambut bagi orang yang ingin berkurban memang masih menjadi perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi belakangan, seperti yang terlihat di medsos, tetapi juga sudah didiskusikan oleh ulama terdahulu.
Permasalahan ini berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadits riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:
Artinya, “Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Pemahaman ulama terhadap hadits ini dapat dipilah menjadi dua kategori. Pendapat pertama memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berkurban memotong kuku dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban (al-mudhahhi), tetapi hewan kurban (al-mudhahha). Uraiannya sebagai berikut.
Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadis di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.
Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadits ini ditujukan untuk orang berkurban, namun mereka berbeda pendapat terkait maksud dan implikasi larangan Nabi tersebut: apakah berimplikasi pada kerahaman? Makruh? Atau hanya mubah saja? Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.
Artinya, “Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.






