Namun penjelasan Sekda Puspaka tersebut, nampaknya ditanggapi Tirtawan, kepada pers, ia menjelaskan bahwa tahun 1959 para petani sudah memiliki sertifikat sementara, pernah ada HPL tahun 1976 yaitu proyek pengapuran. Nah, setelah selesai proyek pengapuran, terbitkanlah SK Bupati tanggal 28 Januari 1982 sama BPN Buleleng, tanah tersebut diredistribusikan kepada 55 petani sehingga muncul beberapa SHM sejak tahun 1982.
Dia juga menegaskan bahwa secara yuridis tanah yang sudah dibagikan kepada masyarakat maka secara otomatis asset itu sudah hilang.
“Secara yuridis manakala tanah sudah didistribusikan kepada orang lain, kepada rakyat, maka secara otomatis aset sudah hilang. Tidak bisa mengklaim sesuatu yang sudah dilepaskan,” ungkapnya.
“Jadi saya ingin bagaimana pihak penegak hukum dan juga Satgas Anti Mafia Tanah untuk mencari duduk persoalan, pun memanggil kepala BPN karena Kepala BPN mengamini ataupun mendukung permohonan sertifikasi tanah yang tidak menggunakan dokumen asli alias fiktif,” tukas Tirtawan
Kok fiktif? “Kenapa dikatakan fiktif karena dokumen itu hanya ada dalam halusinasi karena sudah hilang diputuskan secara hukum oleh pemerintah sendiri,” jawab Tirtawan lagi
“Jadi, saya ingin tidak ada lagi masyarakat merasa resah, khawatir nanti tiba-tiba tanahnya pak polisi, tanahnya petani, tanahnya pedagang, tiba-tiba diakui pemimpin semacam Bupati Agus. Jadi saya ingin cepatnya tim Satgas Anti Mafia Tanah men-cross check data atau fakta sehingga tidak berkembang isu-isu, sebab kita ini di bawah pemerintahan yang memiliki mental mafia lalu dia berkelit, apalah Sekda Dewa Puspaka (mantan Sekda, red) dengan pongahnya mengatakan ‘oh masyarakat SK Mendagri bukan domain saya’. Padahal SK Mendagri itu tembus ke Bupati Buleleng,” pungkas Tirtawan.(*sumber dari koresponden di Buleleng Bali)