Tirtawan Adukan Bupati Agus ke Polres Buleleng, Terkait Sengketa Batu Ampar

Singaraja, Porosnusantara.co.id

Tanah 45 hektare di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, ternyata menjadi krikil tajam bagi Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana di akhir masa jabatannya di Bumi Panji Sakti.

Pasalnya, tanah yang diklaim Pemkab Buleleng sebagai asset pada pertengahan tahun 2015, itu terus mendapat perlawanan dari para petani. Kali ini aktivitis antikorupsi Nyoman Tirtawan yang kembali mengangkatkan kasus tanah Batu Ampar ke meja penegak hukum.

Sebagai bukti Senin (4/4/2022), mantan anggota DPRD Bali periode 2014-2019 ini mendatangi langsung Polres Buleleng melakukan pengaduan. Laporan Tirtawan itu diterima Banit I SPKT Aiptu I Made Winarta, SH.

Usai melapor Bupati Putu Agus Suradnyana, kepada wartawan Tirtawan menjelaskan, “Benar hari ini tanggal 4 April 2022, saya ketemu Pak Kanit dan beliau menyarankan agar para pihak yang dirugikan dan pemegang SHM, pemegang SK Mendagri untuk melengkapi laporan.”

Vokalis Komisi I DPRD Bali periode 2014-2019 itu menuding Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mengklaim asset HPL hanya berdasar foyocopy, tidak memiliki dokumen asli dan sah sesuai aturan perundang-undangan. “Saya garisbawahi bahwa klaim Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana menyatakan asset HPL yang hanya berbentuk fotocopy. Dan kita ketahui adalah fotocopy itu bukanlah dokumen, hanya sebuah salin,” tuding Tirtawan yang dikenal sebagai pahlawan penyelamat uang rakyar Bali sebesar Rp 98 miliar di pos KPU Bali pada Pilgub Bali 2018 lalu itu.

Maka itu, tandas Tirtawan, dirinya harus membuka kepada public agar waspada jangan sampai suatu saat tanah SHM milik masyarakat tiba-tiba diklaim Bupati sebagai asset Pemkab Buleleng seperti yang terjadi di tanah Batu Ampar.

“Tapi perlu kita buka kepada publik, jangan sampai nanti bahwa SHM diklaim oleh Bupati semacam Putu Agus Suradnyana. Karena ini sudah terjadi. Dimana tanah yang diklaim di Batu Ampar itu beberapa SHM yang sering keluar masuk bank dan sudah berkali-kali diroyal di BPN Buleleng,” kritik Tirtawan.

Lanjut Tirtawan, “Jadi, saya ingin bagaiman public tahu, tahun 1959 para petani sudah memiliki sertifikast sementara, pernah ada HPL tahun 1976 yaitu proyek pengapuran. Nah, setelah selesai proyek pengapuran, terbitkanlah SK Bupati tanggal 28 Januari 1982 sama BPN Buleleng, tanah tersebut diredistribusikan kepada 55 petani sehingga muncul beberapa SHM sejak tahun 1982.”

Dia menegaskan bahwa secara yuridis tanah yang sudah dibagikan kepada masyarakat maka secara otomatis asset itu sudah hilang. “Secara yuridis manakala tanah sudah didistribusikan kepada orang lain, kepada rakyat, maka secara otomatis aset sudah hilang. Tidak bisa mengklaim sesuatu yang sudah dilepaskan,” ungkapnya.

Sementara itu, Seperti diberitakan 10 Agustus 2015 lalu, Pemkab Buleleng melalui Sekretaris Daerah Dewa Ketut Puspaka (sekarang mantan Sekda Buleleng dan sudah menjadi tersangka kasus gratisifikasi pembangunan Bandara Buleleng) soal hak pengelolaan tanah (HPL) di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak mengatakan, status tanah yang berlokasi di Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, seluas 45 hektare, yang sejak tanggal 26 Maret 1976 berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri cq Dirjen Agraria diberikan HPL Negara kepada Pemkab Buleleng. Dan telah terbit sertifikat HPL No.1 Desa Pejarakan atas nama Pemkab Buleleng, yang saat ini telah tercatat sebagai asset Pemkab Buleleng.

Melalui press release itu, secara rinci Sekda Puspaka menjelaskan, setelah terbit HPL Tahun 1976., Pemkab Buleleng melalui PD Swatantra menjalin kerjasama, salah satunya dengan PT Prapat Agung Permai, pada tanggal 10 November 1990 dan diberikan ijin pemanfaatan lahan selama 30 tahun hingga tahun 2021, sesuai dengan HGB yang ditindaklanjuti dengan pembuatan HGB kepada PT Prapat Agung Permai.

Berdasarkan HGB tersebut, lanjut Sekda Puspaka, Pemkab Buleleng mengeluarka ijin atau rekomendasi kepaa PT Prapat Agung Permai untuk memanfaatkan lahan tersebut.

”Memang benar pada tahun 1999 semua berkas, arsip dan dokumen hangus terbakar akibat amuk massa, termasuk sertifikat asli. Atas hal tersebut, Pemkab terus menjali koordinasi dan komunikasi ke BPN untuk mengeluarkan sertifikat pengganti,” ungkap Sekda Puspaka.

Artinya, Kantor Pertanahan telah melakukan langkah-langkah dengan mengumumkan informasi ke media terhadap permohonan penggantian sertifikat asli yang hilang saat terjadi kebakaran pada tahun 1999. Dalam pengumuman tersebut, sesuai dengan aturan yang beerlaku diberi jangka waktu selama 30 hari, yaitu sejak dikeluarkan pengumuman 5 Mei sampai 5 Juni 2015 untuk member kesempatan kepada masyarakat mengajukan klaim atau sanggahan terhadap status tanah tersebut.

Terkait dengan pemberitaan, bahwa dengan penerbitan HPL Tahun 1976 kemudian terbit SK mendagri Tahun 1982, Sekda Dewa Puspaka menjelaskan, bahwa hal terebut bukan kapasitas Pemkab memberikan jawaban, karena semua proses yang terjadi ada pada Kementerian Dalam Negeri.

Begitu juga terhadap pemberitaan, bahwa HPL yang diterbitkan Pemkab Buleleng tidak memiliki dokumen aslinya, hal tersebut memang benar adanya. ”Karena sesuai dengan ketentuan, bahwa manakala diatas HPL diletakkan HGB maka sertifikat HPL asli disimpan di kantor Agraria atau Kantor Pertanahan,” jelas Puspaka mantan Sekda.

Terkait dengan dikeluarkannya ijin investasi pada PT Prapat Agung Permai, dijelaskan Sekda Puspaka, hal itu sudah sesuai dengan aspek yuridis. Karena telah memenuhi semua ketentuan yang berlaku. Sedangkan dari aspek sosiologis, investasi tersebut bertujuan untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
”Jika ada pihak-pihak yang mempermasalahkan keberadaan tanah tersebut, kami sarankan sebaiknya melalui mekanisme hukum yang berlaku,” tegas mantan Sekda Puspaka.

Namun penjelasan Sekda Puspaka tersebut, nampaknya ditanggapi Tirtawan, kepada pers, ia menjelaskan bahwa tahun 1959 para petani sudah memiliki sertifikat sementara, pernah ada HPL tahun 1976 yaitu proyek pengapuran. Nah, setelah selesai proyek pengapuran, terbitkanlah SK Bupati tanggal 28 Januari 1982 sama BPN Buleleng, tanah tersebut diredistribusikan kepada 55 petani sehingga muncul beberapa SHM sejak tahun 1982.

Dia juga menegaskan bahwa secara yuridis tanah yang sudah dibagikan kepada masyarakat maka secara otomatis asset itu sudah hilang.

“Secara yuridis manakala tanah sudah didistribusikan kepada orang lain, kepada rakyat, maka secara otomatis aset sudah hilang. Tidak bisa mengklaim sesuatu yang sudah dilepaskan,” ungkapnya.

“Jadi saya ingin bagaimana pihak penegak hukum dan juga Satgas Anti Mafia Tanah untuk mencari duduk persoalan, pun memanggil kepala BPN karena Kepala BPN mengamini ataupun mendukung permohonan sertifikasi tanah yang tidak menggunakan dokumen asli alias fiktif,” tukas Tirtawan

Kok fiktif? “Kenapa dikatakan fiktif karena dokumen itu hanya ada dalam halusinasi karena sudah hilang diputuskan secara hukum oleh pemerintah sendiri,” jawab Tirtawan lagi

“Jadi, saya ingin tidak ada lagi masyarakat merasa resah, khawatir nanti tiba-tiba tanahnya pak polisi, tanahnya petani, tanahnya pedagang, tiba-tiba diakui pemimpin semacam Bupati Agus. Jadi saya ingin cepatnya tim Satgas Anti Mafia Tanah men-cross check data atau fakta sehingga tidak berkembang isu-isu, sebab kita ini di bawah pemerintahan yang memiliki mental mafia lalu dia berkelit, apalah Sekda Dewa Puspaka (mantan Sekda, red) dengan pongahnya mengatakan ‘oh masyarakat SK Mendagri bukan domain saya’. Padahal SK Mendagri itu tembus ke Bupati Buleleng,” pungkas Tirtawan.(*sumber dari koresponden di Buleleng Bali)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *