Porosnusantara.co.id – UU No. 17/2012 Tentang Perkoperasian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi secara keseluruhan pada tahun 2014, dan UU No. 25/1992 diberlakukan kembali untuk periode sementara. Berdasarkan amanat dari Mahkamah Konstitusi, Tim Penyusun dibentuk oleh pemerintah untuk menyusun RUU Koperasi yang baru.
RUU tersebut telah disampaikan oleh Presiden Indonesia ke Parlemen pada tanggal 26 November 2016. Berbagai tinjauan dan negosiasi telah dilakukan sejak tahun 2016, dan RUU tersebut saat ini sedang dalam tahap akhir diajukan oleh Kelompok Kerja ke Sesi Gabungan Pemerintah dan Komisi VI Parlemen, untuk disahkan oleh Sidang Paripurna Parlemen setelah reses berikutnya pada 26 Agustus 2019.
Diskusi terakhir dari Rancangan Undang-Undang Perkopersian ini pada awal Juli 2019 menunjukkan beberapa poin kritis berikut:
1. Draft dalam Pembukaannya, telah mengakomodasi pentingnya demokratisasi ekonomi dalam konteks tren global; akan tetapi, mukadimah ini belum menggambarkan pentingnya Pernyataan Identitas Koperasi seperti yang diadopsi oleh Kongres ICA pada tahun 1995. Meskipun demikian, Draft Co-op Law, menyebutkan definisi universal, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, termasuk penggabungan kearifan lokal seperti Nilai-nilai Kekeluargaan dan Gotong Royong.
2. Proses penyusunan UU Koperasi pada tahun 2016 tidak berkonsultasi atau melibatkan praktisi koperasi, akademisi, serta para pemimpin koperasi. Naskah Akademik tidak sesuai dengan Rancangan Undang-Undang Pekoperasian itu sendiri. RUU belum dapat menerjemahkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dengan benar ke dalam pasal yang berhubungan dengan keanggotaan, organisasi, modal, dan bisnis koperasi.