Menurut data SKK Migas, sejumlah proyek CCS/CCUS sedang dikembangkan, termasuk CCS Abadi di Blok Masela dengan kapasitas penyimpanan karbon mencapai 3 gigaton CO2 dan CCUS Ubadari dengan kapasitas 1,8 gigaton CO2. Keduanya dijadwalkan mulai beroperasi pada 2030 dan 2029. Proyek lainnya seperti CCUS Sukowati, Jatibarang, dan Gemah juga dalam tahap studi lanjutan untuk mendukung pengurangan emisi dari sektor energi.
Hingga kini, Indonesia telah menetapkan kerangka regulasi, termasuk Perpres No. 14 Tahun 2024 yang memberikan landasan hukum untuk pelaksanaan CCS/CCUS, serta Panduan Kerja SKK Migas No. PTK-070/2024 yang mengatur pelaksanaan teknologi ini di wilayah kerja kontraktor.
Tantangan utama dalam implementasi CCS/CCUS di Indonesia meliputi biaya investasi yang tinggi, perlu adanya izin lingkungan, serta kebutuhan koordinasi lintas instansi. Selain itu, kesadaran publik dan dukungan masyarakat terhadap teknologi ini perlu ditingkatkan guna memastikan keberhasilan jangka panjang.
Dengan potensi penyimpanan karbon yang diperkirakan mencapai 577,77 gigaton CO2, Indonesia berambisi menjadi pusat pengembangan CCS regional di Asia Tenggara. Langkah ini diharapkan tidak hanya mendukung target emisi nasional, tetapi juga menarik investasi berkelanjutan dan menciptakan nilai ekonomi di sektor energi.
Regulasi terkait CCS
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2024 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon nasional.
Perpres ini mengatur berbagai aspek, mulai dari izin eksplorasi, izin operasi penyimpanan, hingga ketentuan perpajakan dan insentif ekonomi terkait CCS. Dalam aturan tersebut, kapasitas penyimpanan karbon akan dialokasikan 70% untuk kebutuhan domestik dan 30% untuk luar negeri, khususnya untuk investasi dan afiliasi investor asing.