“Dengan kapasitas penyimpanan karbon hingga 600 gigaton dan lokasi strategis, Indonesia memiliki daya tarik investasi yang kuat dalam pengembangan teknologi CCS,” ujarnya dalam pelatihan jurnalistik tentang CCS di Bogor, Sabtu (18/1).
Saat ini, terdapat 15 proyek CCS yang sedang dikembangkan di Indonesia dengan total investasi sekitar USD 28 miliar. Proyek-proyek ini mencakup berbagai sektor seperti kilang, petrokimia, dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Beberapa proyek utama, termasuk kerjasama lintas negara dengan Singapura, menunjukkan komitmen Indonesia untuk mempercepat transisi energi.
Dr. Maulianda menekankan pentingnya kerangka regulasi yang mendukung pengembangan CCS, termasuk Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan CCS dan pengadopsian standar internasional ISO/TC 265 sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Regulasi ini mencakup operasional penyuntikan karbon, kegiatan lintas batas, hingga sistem pelaporan dan verifikasi (MRV) yang detail.
Namun, tantangan tetap ada, seperti kebutuhan akan investasi lebih lanjut, infrastruktur transportasi karbon, dan peningkatan kesadaran publik. Media massa diharapkan memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi mengenai pentingnya CCS sebagai bagian dari transisi energi berkelanjutan.
Dengan kombinasi inovasi teknologi, kerjasama lintas sektor, dan regulasi yang kuat, Indonesia berkomitmen untuk memimpin upaya dekarbonisasi di kawasan Asia Tenggara.
Percepatan implementasi CCS
Firera, VP Business Support and Lead of Carbon SKK Migas, mengatakan Pemerintah Indonesia terus memperkuat upaya pengurangan emisi karbon melalui penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) di sektor hulu minyak dan gas. Teknologi ini diharapkan berkontribusi signifikan terhadap target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.