Malang – porosnusantara.co.id
Di tengah gelombang demokratisasi yang seharusnya menjadi fondasi kokoh bagi kemajuan daerah, kita justru dihadapkan pada fenomena yang memprihatinkan.
Seorang Bupati, yang semestinya menjadi simbol kepemimpinan, keteladanan,dan pelayan masyarakat, justru memunculkan kontroversi dengan pernyataannya yang menghina.
Sebutan “telat mikir” yang dilontarkan kepada masyarakatnya sendiri adalah sebuah ironi pahit dalam kepemimpinan lokal di negeri ini.
Ketidakmampuan Menyerap Kritik
Seorang pemimpin yang bijak memahami bahwa kritik adalah elemen vital dalam proses pemerintahan yang sehat.
Kritik bukanlah musuh, melainkan cermin yang membantu seorang pemimpin melihat dan memperbaiki kekurangan diri serta kebijakan yang diambil.
Namun, ketika seorang Bupati merespons kritik dengan cercaan, hal itu menunjukkan ketidakmampuan untuk menyerap kritik sebagai umpan balik yang konstruktif.
Lebih jauh lagi, sikap ini menyingkap krisis kepemimpinan yang mendalam, dimana kepekaan terhadap aspirasi masyarakat digantikan oleh arogansi kekuasaan.
Penghinaan terhadap Masyarakat
Pernyataan “telat mikir” bukan hanya ungkapan yang tidak pantas dari seorang pejabat publik, tetapi juga penghinaan yang melukai harga diri rakyat.
Masyarakat yang berani mengutarakan pendapat, yang mungkin berbeda atau berseberangan dengan pandangan pemimpinnya, tidak pantas dicap sebagai kurang berpikir atau terbelakang.
Sebaliknya, mereka seharusnya dihargai karena keberanian mereka dalam berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Sikap anti-kritik ini justru menunjukkan bahwa pemimpin tersebut tidak memahami esensi dari demokrasi itu sendiri, yang mana rakyat bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi subjek yang memiliki hak suara dan pandangan.
Dampak Jangka Panjang terhadap Kepemimpinan
Ketika seorang pemimpin lokal seperti Bupati lebih memilih untuk merendahkan masyarakat daripada mendengarkan mereka, ini bukan hanya masalah komunikasi yang buruk. Lebih jauh, ini mengindikasikan ketidakmampuan untuk memimpin dengan integritas dan empati.
Kepemimpinan yang dibangun di atas pondasi penghinaan dan arogansi kekuasaan tidak akan pernah menghasilkan perubahan yang berarti bagi masyarakat. Sebaliknya, hal ini hanya akan memperkuat kesenjangan antara pemerintah dan rakyat, serta menciptakan suasana ketidakpercayaan yang mendalam.
Selain itu, dampak jangka panjang dari sikap seperti ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintahan lokal.
Masyarakat yang merasa tidak dihargai oleh pemimpinnya akan cenderung apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Padahal, partisipasi aktif masyarakat adalah kunci bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih, transparan dan bertanggung jawab.
Pemimpin yang Melayani, Bukan Merendahkan
Seharusnya, seorang pemimpin menyadari bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Seorang Bupati dipilih bukan untuk menghina rakyatnya, tetapi untuk melayani dan mendengarkan mereka.
Pemimpin yang baik tidak akan menghindar dari kritik, melainkan akan merangkulnya sebagai bagian dari proses menuju perbaikan yang berkelanjutan.
Untuk itu, penting bagi masyarakat dan semua elemen pemerintahan untuk mengevaluasi kembali sikap dan perilaku pemimpin yang demikian. Apakah mereka benar-benar layak memimpin, atau hanya mempermalukan jabatan yang dipercayakan kepada mereka? Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang mendengar dan mengayomi, bukan yang merendahkan dan menghina.
Pernyataan “telat mikir” bukan sekadar ucapan yang terlepas begitu saja, tetapi cerminan dari krisis kepemimpinan yang mengancam kualitas demokrasi lokal kita.
Sebagai warga negara yang peduli, kita harus terus menuntut pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga bijak dalam bertindak dan bertutur kata. Pemimpin yang melayani dengan hati dan pikiran terbuka, bukan dengan arogansi dan penghinaan.
Masyarakat tidak boleh dibiarkan terintimidasi oleh pemimpin yang tidak mampu menerima kritik. Demokrasi harus tetap hidup melalui suara-suara kritis yang membangun, bukan dibungkam oleh kekuasaan yang anti-kritik.
Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin yang bisa melihat kritik sebagai jalan untuk memperbaiki diri, bukan sebagai ancaman terhadap egonya.
(Red-JBL)