PorosNusantara, Jakarta – Pengesahan hasil revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019 lalu menjadi sorotan karena dianggap mereduksi kewenangan lembaga tersebut dan dikhawatirkan akan mempersulit upaya pemberantasan korupsi ke depan. Proses revisi yang memakan waktu hanya 13 hari menyisakan pertanyaan, seberapa serius legislatif dan eksekutif melakukan proses legislasi dan bagaimana pelibatan masyarakat selama revisi berlangsung.
Pasca pengesahan revisi UU KPK, timbul keinginan untuk terus menggelorakan semangat memberantas korupsi. Para penggiat anti korupsi terus memperkuat jejaring di berbagai e|emen masyarakat serta memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dan wakil-wakil Iegislatif yang memiliki kesamaan nilai.
”Korupsi menjadi musuh bersama sehingga kolaborasi mutlak dibutuhkan. Dalam hal ini perempuan harus mengambil bagian secara aktif karena akan menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak korupsi. Pada dasarnya kita semua akan terkena dampaknya bila korupsi terus merajalela,” kata Anita Wahid, pegiat Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) dalam acara diskusi ’Membangun Kolaborasi Gerakan Pemberantasan Korupsi’ yang diadakan PIA di Gedung Perpustakaan Nasional.
Gerakan kolaborasi juga diharapkan datang dari kelompok muda yang akan menentukan masa depan indonesia. Selain semangat dan idealisme tinggi yang mereka miliki, kaum muda Indonesia saat ini juga saling terhubung dengan lebih mudah melalui berbagai sarana komunikasi. “Anak muda harus ikut mengawal pemberantasan korupsi, agar di hari tua nanti kita punya kesempatan untuk melihat Indonesia yang makmur dan sejahtera,” ujar William Adiyta Sarana, anggota DPRD DKI yang masuk golongan anak muda.