BEKASI, POROS NUSANTARA ~ Kesenian wayang kulit nampaknya tidak akan luluh oleh kesenian modern apapun yang datang dari manca negara. Fakta ini bisa kita lihat dari perkembangan seni pertunjukan yang selalu ditonton dan dijejali oleh tiga generasi, yakni kaum tua (sepuh), muda, dan anak-anak.
Tidak hanya di tanah air, di berbagai belahan dunia pun seni pewayangan ini makin digemari, khususnya musik pengiringnya yakni karawitan atau gamelan, bahkan telah mendapat apresiasi tertinggi. Musik tradisional dari Jawa ini telah menjadi pelajaran ekstrakulikuler maupun tetap di taman-taman pendidikan menengah dan perguruan tinggi bergengsi di berbagai negara.
Boleh menjadi suatu kekuatiran jika tontonan wayang kulit hanya didominasi generasi tua saja. Begitupun perkembangan pelaku seninya yakni dalang juga cukup menggembirakan. Sekarang terus bermunculan dalang-dalang muda berkarakter yang begitu terampil memainkan wayang (sabetan), dan cakap dalam melakonkan tokoh-tokohnya. Seolah tokoh yang diperakan itu hidup sungguhan sesuai karakter si tokoh wayang. Sang dalang sangat mahir mendramatisasi cerita dari tokoh-tokoh tertentu sehingga penonton ikut larut emosionalnya, terhadap tokoh yang sedang diperankan itu.
Semisal tokoh itu sebenarnya sangat jujur tetapi justru ditimpa penderitaan karena didzolimi (difitnah), atau sang tokoh marah besar kepada lawan-lawannya yang membuat huru-hara di negara atau kerajaan tempatnya tinggal (mengabdi), dengan gagah berani maju perang di medan laga dan pantang mundur, demi membela kebenaran sejati. Apalagi dalam hal asmara, sang dalang pun sangat mahir mendramatisasi percintaan sepasang kekasih dengan begitu apik, penonton pun ikut hanyut seolah mereka merasakan sendiri kebahagiaan tersebut dengan kekasihnya.