Ribuan Warga NTT Turun ke Jalan Tuntut Kasus Human Trafficking

Kupang, Poros Nusantara – Ribuan warga NTT melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan untuk menuntut pihak Polda NTT dan Pemerintah NTT menyelesaikan kasus human trafficking.

Para pendemo dari berbagai aliansi peduli NTT itu  melakukan aksi demonstrasi damai dari Mapolda NTT dan long march ke Kantor gubernur NTT. Seperti disaksikan Poros Nusantara, Rabu (28/3/2018), para warga yang kebanyakan aktivis perempuan, aktivis organisasi mahasiswa dan keluarga korban mendatangi Polda NTT dengan membawa spanduk bertuliskan Kecamatan terhadap penegak hukum dan Pemerintah.

BACA JUGA  Pawas Bersama Piket Fungsi Polsek Pasar Kemis Polresta Tangerang Cek Ruang Tahanan, Tekankan Jaga Kebersihan Dan Kesehatan

Mereka juga membawa puluhan peti mati dan meletakan di pintu masuk Polda NTT. Beberapa orator dengan pengeras suara melakukan orasi bernada kecaman. Mereka mendesak Kapolda NTT untuk hadir di tengah mereka untuk berdialog bersama.  Setelah menunggu sekitar 30 menit barulah Wakil Direktur Umum Polda NTT mendatangi para pendemo. Saat itu dibacakan pernyataan sikap yang berisi tiga tuntutan sikap rakyat Indonesia di NTT yakni, moratorium pengiriman TKI ke Malaysia, menangkap dan mengadili perdagangan orang dan pejabat publik yang mendiamkan pelaku perdagangan orang adalah bagian dari kolonialisme sehingga harus diturunkan dan dipenjarakan.

BACA JUGA  Beri Kenyamanan Penghuni, Kementerian PUPR Lengkapi Prasarana Sarana dan Utilitas Umum 643 Unit Perumahan Subsidi di Kalsel

DEMO

Para warga menilai bahwa selama empat tahun terakhir, angka kematian buruh migran asal NTT melonjak tinggi. Bahkan dalam data BNP2TKI sekitar 90 persen korban buruh migran asal Indonesia yang meninggal di luar negeri pada tahun 2017 berasal dari NTT. Sampai tahun 2018 ini sudah 23 warga asal NTT yang pulang dalam kondisi meninggal dan dalam bahasa BNP2TKI mereka terbanyak adalah pekerja migran ilegal. Bahkan ketika jenazah mereka tiba di cargo bandara yang ditanya BP3TKI adalah mana surat identitas mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada rasa kedaruratan dan kemanusiaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *