Breaking News
WAKTU MAGHRIB 2 PRODUKSI RAPI FILMS SIAP MENEROR LAYAR LEBAR MULAI 28 MEI 2025 MELIBATKAN PULUHAN ANAK YANG KERASUKAN HADIR LEBIH MENCEKAM Jakarta, 21 Mei 2025-Setelah trailer-nya yang diluncurkan bulan lalu menimbulkan rasa penasaran dan antisipasi besar di kalangan penonton horor Indonesia, film Waktu Maghrib 2 akhirnya siap tayang serentak di seluruh bioskop tanah air mulai 28 Mei 2025. Disutradarai Sidharta Tata dan diproduseri Gope T. Samtani, film yang produksi Rapi Films bekerja sama dengan Sky Media, Rhaya Flicks, Legacy Pictures, dan Kebon Studio ini menjanjikan pengalaman sinematik yang lebih mencekam, atmosfer yang lebih gelap, dan ketegangan yang lebih intens. Film Waktu Maghrib 2 juga memperluas mitologi horor yang pertama kali dikenalkan lewat Waktu Maghrib (2023), dengan kehadiran kembali sosok jin Ummu Sibyan yang menakutkan. Ummu Sibyan dikenal sebagai sosok jin yang kerap dikaitkan dengan. gangguan terhadap anak-anak dan wanita hamil. Ummu Sibyan sering muncul dan mengganggu manusia saat adzan Maghrib berkumandang. Karena itu, banyak orang tua yang disarankan untuk menjaga anak-anak tetap berada di dalam rumah pada waktu tersebut guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sidharta Tata mengungkapkan, “Film Waktu Maghrib 2 menghadirkan cerita yang lebih dalam dan atmosfer yang lebih gelap. Kali ini bukan hanya soal ketakutan personal, tapi soal bagaimana teror bisa menyebar dan mengikat satu desa dalam ketakutan. Kami menghadirkan elemen horor yang lebih sinematik, dengan dukungan pemain muda yang tampil sangat kuat.” Dibintangi oleh Omar Daniel, Anantya Kirana, Sulthan Hamonangan, Ghazi Alhabsyi, Muzakki Ramdhan, Sadana Agung, Nopek Novian, Bagas Pratama Saputra, dan Fita Anggriani, Waktu Maghrib 2 mengisahkan kembalinya jin Ummu Sibyan yang kini meneror Desa Giritirto. Sekelompok anak tanpa sadar membangkitkan malapetaka saat mereka mengutuk teman-temannya seusai pertandingan bola di waktu maghrib. Satu per satu mereka diburu di tengah hutan oleh kekuatan tak kasat mata yang lebih jahat dari sebelumnya. Anantya Kirana, pemeran utama yang berusia 15 tahun, membagikan pengalamannya saat memerankan Wulan, “Ini pengalaman paling menantang sekaligus seru buat aku. Saat adegan kerasukan, aku harus benar-benar berubah dari anak biasa menjadi sosok yang menyeramkan. Aku banyak latihan fisik dan ekspresi, dan dibantu oleh coaching dari Mas Tata. Penggunaan sling saat beradegan juga jadi pengalaman pertama yang sangat berkesan.” Dengan durasi yang padat dan narasi yang memikat, Waktu Moghrib 2 bukan hanya menghadirkan jump scare, tapi juga membangun ketegangan yang tak putus sejak awal hingga akhir. Adegan kerasukan yang melibatkan puluhan anak akan menjadi daya tarik bagi para pecinta film horor lokal yang menginginkan cerita berakar pada budaya dan mitos Indonesia. Jangan lewatkan film Waktu Maghrib 2 di bioskop seluruh Indonesia mulai tanggal 28 Mei 2025. Putusan Hakim 12 Tahun Penjara Dari Tuntutan JPU 10 Tahun Terdakwa HA: Masyarakat Singkawang Puas Dengan Putusan Hakim Kapolres Banjar Bersilaturahmi ke Kodim 0613/Ciamis Dalam Rangka HUT Kodam III/Siliwangi Pameran Dagang Terbesar ASEAN untuk Industri Otomotif, Kendaraan Listrik, Sepeda Motor, Bus, Logistik, Forklift dan Pertambangan akan Kembali di Tahun 2025 dalam Skala yang Lebih Besar Pameran Dagang Terbesar ASEAN untuk Industri Otomotif, Kendaraan Listrik, Sepeda Motor, Bus, Logistik, Forklift dan Pertambangan akan Kembali di Tahun 2025 dalam Skala yang Lebih Besar

KETUM PARMUSI MIRIS MELIHAT NASIB WARGA DI NTT

KUPANG, POROS NUSANTARA  –  Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam, sangat miris melihat kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur terutama di Pulau Kera, Kabupaten Kupang dan Desa Aitaman, Kabupaten Belu. Pasalnya, dari safarinya ke beberapa kabupaten di NTT, Usamah menemukan bahwa masyarakat di daerah itu masih terdapat diskriminasi pelayanan. Terhadap kondisi ini, Parmusi secara lembaga akan melaporkan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar masyarakat yang ada bisa diperhatikan sungguh-sungguh oleh pemerintah daerah.
Usamah bersama rombongan menyambangi masyarakat di  Pulau Kera, Kabupaten Kupang,   Selasa (28/11/2017)  dalam rangkaian program Kafilah Dakwah Parmusi di daerah perbatasan NTT dan RDTL, guna melihat langsung bagaimana situasi dan kondisi kehidupan masyarakat daerah ini.

miris warga ntt.1Sebelum datang ke Pulau Kera, Usamah lebih dahulu menemui pengungsi eks Timor Timur di Desa Aitaman, Kabupaten Belu. Dalam dialognya dengan salah seoran guru, Helena, Usamah menerima laporan bila beras miskin di desa tersebut yang biasa diterima untuk 189 kepala keluarga masing-masing 60 kilogram, pada 2017 hanya diterima untuk 60 kepala keluarga. Helena mengeluhkan perhatian terhadap masyarakat setempat yang sudah berintegrasi dengan NKRI dari waktu ke waktu perhatian pemerintah semakin berkurang. Dirinya mensyukuri masih ada organisasi sosial seperti Parmusi yang datang melihat mereka dan memberikan bantuan walaupun dalam jumlah sedikit.

BACA JUGA  Perkuat Sistem Perkarantinan, Kementan Jajagi Transfer Teknologi Bio-Sensing dari Belanda

Khusus di Pulau Kera, kondisi  masyarakatnya yang sebagian besar berasal dari Suku Bajo dan Buton, walaupun sudah tinggal turun menurun sejak tahun 1917, namun warga tidak pernah mendapatkan hak-hak administrasi kependudukan. Implikasinya mereka tidak bisa mendapatkan akses kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya.
Menurut Usamah, warga di Pulau Kera sama sekali tidak tersentuh program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang telah dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal penghuni di Pulau Kera hidup berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 1 juta per bulan.
“Presiden harus tahu bagaimana mungkin setiap bulan keliling daerah membagikan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, tapi di tempat ini masih ditemukan 450 jiwa hidup dalam kemiskinan, dan ketidakpastian dan terancam buta huruf. Bahkan mereka pernah kelaparan empat bulan. Mereka warga negara Indonesia tapi tidak mendapatkan hak-hak yang dijamin Undang-Undang,” ujar Usamah di Kupang, Kamis (30/11/2017).

miris warga ntt.3Usamah begitu miris campur sedih melihat kehidupan masyarakat di Pulau Kera yang letaknya tidak jauh dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Menurutnya, di setiap sudut mata memandang yang ada hanya terlihat gubuk-gubuk bambu yang sudah reot. Mereka masih ada yang tidur beralaskan pasir, kekeringan, lebih parah lagi terdapat 70 anak-anak usai wajib belajar buta huruf karena tidak sekolah.
Menurutnya, secara administrasi kependudukan, dari laporan masyarakat mereka belum diakui oleh pemerintah daerah. Sudah puluhan tahun mengurus KTP tapi tidak pernah dilayani. Alasannya mereka dianggap masyarakat imigran. Padahal warga yang ada adalah warga Indonesia.

BACA JUGA  Wawako Sawahlunto H, Zohirin Sayuti, SE Sampaikan Ranperda Pelaksanaan APBD 2020.

Arsyad, seorang warga di tempat itu mengungkapkan, masyarakat Pulau Kera sudah berkali-kali mengurus KTP dari tahun 1978 tapi sampai saat ini belum bisa. Masyarakat pun akhirnya merasa didiskriminasi dan dirugikan karena dengan itu, mereka sampai saat ini tidak bisa mendapatkan hak-hak sosialnya.
“.Masyarakat disini tidak punya KTP, tidak punya surat nikah, dan tidak punya kartu keluarga. Keberadaan kita tidak diakui. Alasannya kita dianggap warga imigran. Padahal sudah bertahun-tahun pendahulu kita tinggal di sini. Yang bikin kesal, warga di Pulau Kera ini baru dianggap sebagai masyarakat Kabupaten Kupang jika mendekati tahun politik, baik itu Pilkada Pileg, ataupun Pilpres. Rayuan gombal para politisi untuk memperjuangkan hak-hak sosial mereka terlihat kencang berkumandang hanya karena ingin mendapatkan suara dan dukungan. Meski kita tidak punya KTP tapi kita diminta untuk memilih,” tandasnya.

BACA JUGA  Pemdes Abadi jaya Salurkan BLT Tahap III, Kades Gunakan Sebaik- Baiknya

miris warga ntt.2Yusril Mahendra satu-satunya ustadz di Pulau Kera merasakan diskriminasi itu, karena tidak mendapatkan layanan kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat, masyarakat di tempat ini jika ada yang sakit harus dibawa ke rumah sakit di Kota Kupang. Sementara mereka tahu biaya perawatan di rumah sakit mahal, sedangkan penghasilan warga sebagai nelayan di bawah Rp 1 juta.
“Istri saya melahirkan di tengah-tengah laut dalam perjalanan menuju rumah sakit di Kupang. Memang kami diterima masuk tapi kan harus bayar, karena tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis seperti BPJS atau ASKES. Jadinya terpaksa waktu itu bayar Rp 5 juta. Padahal saya punya Rp 500 ribu,” ungkapnya.
Dalam kunjungan ke Pulau Kera Parmusi menjadikan masyarakat di kampung itu sebagai desa binaan atau desa madani melalui pembinaan iman dan takwa, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal itu sesuai dengan tujuan dari gerakan dakwah Parmusi.

(Laporan : Erni Amperawati)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *