KUPANG, POROS NUSANTARA – Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam, sangat miris melihat kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur terutama di Pulau Kera, Kabupaten Kupang dan Desa Aitaman, Kabupaten Belu. Pasalnya, dari safarinya ke beberapa kabupaten di NTT, Usamah menemukan bahwa masyarakat di daerah itu masih terdapat diskriminasi pelayanan. Terhadap kondisi ini, Parmusi secara lembaga akan melaporkan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar masyarakat yang ada bisa diperhatikan sungguh-sungguh oleh pemerintah daerah.
Usamah bersama rombongan menyambangi masyarakat di Pulau Kera, Kabupaten Kupang, Selasa (28/11/2017) dalam rangkaian program Kafilah Dakwah Parmusi di daerah perbatasan NTT dan RDTL, guna melihat langsung bagaimana situasi dan kondisi kehidupan masyarakat daerah ini.
Sebelum datang ke Pulau Kera, Usamah lebih dahulu menemui pengungsi eks Timor Timur di Desa Aitaman, Kabupaten Belu. Dalam dialognya dengan salah seoran guru, Helena, Usamah menerima laporan bila beras miskin di desa tersebut yang biasa diterima untuk 189 kepala keluarga masing-masing 60 kilogram, pada 2017 hanya diterima untuk 60 kepala keluarga. Helena mengeluhkan perhatian terhadap masyarakat setempat yang sudah berintegrasi dengan NKRI dari waktu ke waktu perhatian pemerintah semakin berkurang. Dirinya mensyukuri masih ada organisasi sosial seperti Parmusi yang datang melihat mereka dan memberikan bantuan walaupun dalam jumlah sedikit.
Khusus di Pulau Kera, kondisi masyarakatnya yang sebagian besar berasal dari Suku Bajo dan Buton, walaupun sudah tinggal turun menurun sejak tahun 1917, namun warga tidak pernah mendapatkan hak-hak administrasi kependudukan. Implikasinya mereka tidak bisa mendapatkan akses kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya.
Menurut Usamah, warga di Pulau Kera sama sekali tidak tersentuh program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang telah dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal penghuni di Pulau Kera hidup berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 1 juta per bulan.
“Presiden harus tahu bagaimana mungkin setiap bulan keliling daerah membagikan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, tapi di tempat ini masih ditemukan 450 jiwa hidup dalam kemiskinan, dan ketidakpastian dan terancam buta huruf. Bahkan mereka pernah kelaparan empat bulan. Mereka warga negara Indonesia tapi tidak mendapatkan hak-hak yang dijamin Undang-Undang,” ujar Usamah di Kupang, Kamis (30/11/2017).
Usamah begitu miris campur sedih melihat kehidupan masyarakat di Pulau Kera yang letaknya tidak jauh dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Menurutnya, di setiap sudut mata memandang yang ada hanya terlihat gubuk-gubuk bambu yang sudah reot. Mereka masih ada yang tidur beralaskan pasir, kekeringan, lebih parah lagi terdapat 70 anak-anak usai wajib belajar buta huruf karena tidak sekolah.
Menurutnya, secara administrasi kependudukan, dari laporan masyarakat mereka belum diakui oleh pemerintah daerah. Sudah puluhan tahun mengurus KTP tapi tidak pernah dilayani. Alasannya mereka dianggap masyarakat imigran. Padahal warga yang ada adalah warga Indonesia.
Arsyad, seorang warga di tempat itu mengungkapkan, masyarakat Pulau Kera sudah berkali-kali mengurus KTP dari tahun 1978 tapi sampai saat ini belum bisa. Masyarakat pun akhirnya merasa didiskriminasi dan dirugikan karena dengan itu, mereka sampai saat ini tidak bisa mendapatkan hak-hak sosialnya.
“.Masyarakat disini tidak punya KTP, tidak punya surat nikah, dan tidak punya kartu keluarga. Keberadaan kita tidak diakui. Alasannya kita dianggap warga imigran. Padahal sudah bertahun-tahun pendahulu kita tinggal di sini. Yang bikin kesal, warga di Pulau Kera ini baru dianggap sebagai masyarakat Kabupaten Kupang jika mendekati tahun politik, baik itu Pilkada Pileg, ataupun Pilpres. Rayuan gombal para politisi untuk memperjuangkan hak-hak sosial mereka terlihat kencang berkumandang hanya karena ingin mendapatkan suara dan dukungan. Meski kita tidak punya KTP tapi kita diminta untuk memilih,” tandasnya.
Yusril Mahendra satu-satunya ustadz di Pulau Kera merasakan diskriminasi itu, karena tidak mendapatkan layanan kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat, masyarakat di tempat ini jika ada yang sakit harus dibawa ke rumah sakit di Kota Kupang. Sementara mereka tahu biaya perawatan di rumah sakit mahal, sedangkan penghasilan warga sebagai nelayan di bawah Rp 1 juta.
“Istri saya melahirkan di tengah-tengah laut dalam perjalanan menuju rumah sakit di Kupang. Memang kami diterima masuk tapi kan harus bayar, karena tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis seperti BPJS atau ASKES. Jadinya terpaksa waktu itu bayar Rp 5 juta. Padahal saya punya Rp 500 ribu,” ungkapnya.
Dalam kunjungan ke Pulau Kera Parmusi menjadikan masyarakat di kampung itu sebagai desa binaan atau desa madani melalui pembinaan iman dan takwa, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal itu sesuai dengan tujuan dari gerakan dakwah Parmusi.
(Laporan : Erni Amperawati)