SAWAHLUNTO, POROS NUSANTARA – Sumbar-Dalam rangka meningkatkan pengawasan partisipatif oleh masyarakat Kota Sawahlunto, Panwaslu Sawahlunto menggelar Rapat Koordinasi lintas sektor yang dilaksanakan di Ruang Cemara Hotel Ombilin Kota Sawahlunto (09/11). Rakor yang dihadiri mulai perangkat desa, Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga tokoh masyatakat Sawahlunto tersebut diharapkan dapat bersinergi dalam hal pengawasan pelaksanaan Pilkada 2018 maupun Pileg dan Pilpres 2019.
Sementara dalam sambutannya Kepala Sekretariat Panwaslu Sawahlunto, Agung Rohadiat mengatakan bahwa maksud dalam Rakor ini adalah agar mengajak kepada masyarakat untuk mencegah pelanggaran seminimal mungkin dalam pelaksanaan Pilkada 2018, maupun Pileg 2019.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Panwaslu Sawahlunto, Dwi Murini.
“Masyarakat Kota Sawahlunto harus menjadi perpanjangan tangan dari Panwaslu Sawahlunto untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Pilkada 2018 maupun Pileg 2019, ungkapnya”
Sementara itu pengertian dari pengawasan partisipatif sendiri yaitu pengawasan Pemilu yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk pastisipasi masyarakat dalam mengawal integritas pelaksanaan Pemilu. Terkait pengawasan partisipatif, pihaknya menambahkan terdapat beberapa masalah dalam pengawasan partisipatif seperti halnya rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pengawasan, hingga adanya intimidasi terhadap pelapor, ungkapnya. “Urgensi adanya pengawasan partisipatif diantaranya dikarenakan keterbatasan personal, daya dukung dan kewenangan pengawas” ungkapnya. Oleh karena itu adanya pengawasan partisipatif dapat menutup kekurangan pengawas pemilu tersebut.
Sementara itu dalam paparannya, Komisioner Panwaslu Sawahlunto Divisi Pencegahan Pelanggaran dan Hubungan Antar Lembaga, Fira Hericel mengatakan bahwa terdapat ciri-ciri TPS rawan seperti daerah yang pernah konflik maupun daerah yang masih berpotensi terjadi konflik.
“Daerah yang berpotensi konflik termasuk daerah rawan karena adanya fanatisme pendukung salah satu calon”, ungkapnya.
Pihaknya juga menjelaskan potensi-potensi kerawanan yang harus menjadi atensi mulai tahapan pemutakhiran data pemilih seperti pemilih ganda dan data pemilih invalid, di tahapan pencalonan seperti halnya adanya dukungan ganda dan kepengurusan ganda, maupun di saat tahapan kampanye dan dana kampanye seperti halnya perusakan APK, black campaign, money politik hingga penggunaan fasilitas negara maupun penggunaan dana bansos.
Sementara selaku narasumber terakhir, Komisioner Panwaslu Sawahlunto Divisi Hukun, Wilma Erida mengatakan bahwa terjadinya penurunan partisipasi politik oleh masyarakat salah satunya disebabkan karena sebagian masyarakat tidak merasakan dampak setelah dilakukan pemilihan. Untuk itu dengan diselenggarkaan Pemilu serentak pada 2019 nanti diharapkan sekaligus dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat maupun menekan tingginya biaya dalam pelaksanaan Pilkada, ungkapnya.
Wilma Erida juga menambahkan bahwa pengertian money politik adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara tidak sah, memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu
(Laporan : Andi/Risang)