Jakarta – Porosnusantara.co.id ||
Diperoleh informasi dari berbagai media massa, yang menyebutkan bahwa per 1 Maret 2022, pemerintah resmi menaikan harga gas elpiji non subsidi. Kenaikan harga ini berbeda-beda di beberapa tempat. Untuk gas elpiji 5,5 kilogram maupun 12 kilogram. Dengan adanya kenaikan, harga elpiji non subsidi yang berlaku saat ini sekitar Rp15.000 per kilogram, bukan hanya itu, pemerintah melalui PT Pertamina Patra Niaga juga telah memutuskan menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi dengan kenaikan 21 persen dari rata-rata harga CPA (Contract Price Aramco) sepanjang tahun 2021, kebijakan ini pun menimbulkan polemic di tengah masyarakat, yang masih terbebani dengan naiknya berbagai kebutuhan pokok, situasi inipun mendapatkan sorotan tajam dari Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari.
Ia menilai pemerintah tidak pernah memiliki rencana untuk melakukan pencegahan agar subsidi gas elpiji tepat sasaran, pasalnya tidak semua pengguna gas elpiji nonsubsidi tergolong masyarakat menengah ke atas. Tetapi, juga banyak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seperti rumah makan, industri mikro makanan, dan sebagainya yang menggunakan gas elpiji nonsubsidi. Karena itu, ia menyayangkan keputusan pemerintah ini, meskipun komparasi penggunaan gas elpiji subsidi dan nonsubsidi adalah 93 persen berbanding 7 persen.
“Nah kalau (gas elpiji nonsubsidi) naik kan mereka kena imbas, malah nantinya mereka beralih ke elpiji bersubsidi. Itu artinya, pemerintah hanya mengandalkan fungsi pengawasan saja,” ungkap Diah kepada porosnusantara.com, Senin, 14/3/2022 di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta.
Menurutnya, Jika terjadi peralihan penggunaan dari gas elpiji 12 kilogram nonsubsidi k gas elpiji 3 kilogram bersubsidi, maka akan semakin memberatkan kondisi APBN yang hingga saat ini harus menanggung beban subsidi minyak dan gas (migas). meski Indonesia ini merupakan salah satu negara dengan potensi gas alam yang besar di dunia, tetapi pada kenyataannya, jutaan ton gas elpiji yang setiap hari dikonsumsi masyarakatnya adalah berasal dari importasi dari negara lain. Hal ini terjadi karena Indonesia tidak memiliki teknologi dan infrastruktur untuk mengolah bahan baku menjadi gas elpiji yang siap digunakan.