Porosnusantara.co.id, Jakarta – Saat ini kita dihadapkan pada realita bahwa teknologi digital telah digunakan pada seluruh aspek kehidupan dan pembangunan, mulai dari sektor perdagangan, transportasi, pertanian, hingga keuangan. Pemanfaatan digital menciptakan peluang bisnis melalui platform sharing ekonomi, bahkan dapat meningkatkan inklusi keuangan melalui beragam layanan teknologi finansial (fintech) yang berkembang.
“Namun di sisi lain, perkembangan teknologi digital dapat meningkatkan risiko tindak kejahatan berupa penyalahgunaan data pribadi, cyber crime, penyebaran hoax dan ujaran kebencian, hingga praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution saat memberikan sambutan tentang Mitigasi Risiko Fintech dan Virtual Currency, Selasa (30/4), di Jakarta.
Karena itulah Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia perlu senantiasa mengantisipasi dan memitigasi risiko yang muncul dari pemanfaatan teknologi tersebut. Dalam hal ini, pemahaman mengenai lanskap, ekosistem, dan dinamika industri diperlukan sebelum mengeluarkan peraturan.
Selain itu, Pemerintah dan Otoritas terkait harus bergerak ke kerangka peraturan yang lebih ringan, lebih dinamis dan adaptif. Peraturan yang dibuat harus mencoba menyeimbangkan peran kebijakan dan regulasi untuk memberikan kepastian hukum sekaligus melindungi konsumen dan mendorong inovasi.
“Rumus dasarnya adalah bahwa pengaturannya harus sederhana, ringan, dan fleksibel, supaya tidak mematikan start up, supaya tidak mematikan inovasi. Kami memandang perlindungan kepentingan nasional harus dikaji secara serius, termasuk dalam penanganan terorisme dan pencucian uang,” kata Menko Darmin.
Menko Darmin lantas menjelaskan salah satu isu terkait fintech adalah tindakan memecah transaksi (smurfing) melalui transaksi fintech, agar kurang dari batasan threshold transaksi yang harus dilaporkan (kurang dari Rp 100 juta). Selain itu Ia mencontohkan isu virtual currency tentang pseudonimity dari mekanisme transaksi yang menyebabkan pelaku transaksi tidak dapat diidentifikasi.
“Maka, untuk memitigasi risiko fintech dan virtual currency tersebut, tentunya Pemerintah bersama BI dan OJK tidak dapat begerak sendiri, kolaborasi dan peran aktif dari platform fintech juga diperlukan,” pungkas Darmin.
Hadir dalam kesempatan ini antara lain Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin; Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae, perwakilan dari OJK dan instansi terkait lainnya. (Red)