KUPANG, POROS NUSANTARA – Para raja Timor baik di Indonesia maupun di RDTL bersepakat menyelesaian sengketa batas wilayah antara Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Segmen Naktuka (Noelbesi-Citrana). Butir kesepakatan bersama itu dituangkan dalam 8 butir pernyataan agar lahan seluas 1.069 hektar yang menjadi sengketa dan dapat menjadi ancaman keamanan kedua negara dapat diselesaikan dengan bermartabat. Penyelesaian sengketa batas ini juga atas peran serta pasukan TNI yang berada di wilayah perbatasan yang bersengketa antara RI-RDTL guna membantu melaksanakan pengamanan dan membantu masyarakat dalam memfasilitasi kegiatan pertemuan tokoh adat dari kedua negara.
Dalam siaran Pers Makorem 161/Wira Sakti Kupang yang diterima PorosNusantara di Kupang, Selasa (5/12/2017) menyebutkan, perundingan pada tingkat pusat yang dilakukan kedua negara selalu mendapatkan jalan buntu dengan menggunakan dasar ketentuan yang saling berlawanan dalam mengartikan isi pemahaman kesepakatan perjanjian negara penjajah karena tidak sesuai dengan kondisi masa lalu dan juga masa sekarang. Korem 161/Wira Sakti memberikan masukan agar tokoh adat dan tokoh masyarakat dilibatkan dalam memberikan opsi untuk penyelesaian yang tidak berujung selesai dengan mempertemukan Raja dan Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan tokoh masyarakat di kedua negara. Opsi ini merupakan hasil pemikiran rakyat kedua negara dengan cara bottom-up untuk mempercepat penyelesaian batas negara sehingga di masa yang akan datang anak cucu mereka hidup berdampingan dalam adat dan tidak akan menimbulkan perang saudara.
Kegiatan rapat koordinasi Para Raja, Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan aparat Pemerintah Daerah serta dihadiri Personel Korem 161/WS merumuskan keinginan rakyat adat Kerajaan Amfoang sehingga dalam permasalahan sengketa RI-RDTL di wilayah Naktuka yang subur seluas 1.069 hektar itu dapat diselamatkan. Kebijakan Danrem 161/Wira Sakti, Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa, S.E., M.M., terhadap klaim maksimal atas wilayah sengketa tersebut merupakan implementasi tugas TNI dalam menjaga kedaulatan negara. Diharapkan klaim maksimal ini, dapat diwadahi melalui pertemuan antara Tokoh Adat RI dan RDTL.
Disebutkan, pertemuan antara para tokoh adat RI dan RDTL Dengan tema “Nekaf Mese Ansaof Mese, Atoni Pah Meto” yakni “Satu Hati Satu Jiwa, Sebagai Orang Dawan” itu dilaksanakan pada tanggal 14 November 2017 di halaman SD Katolik Bokos Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang. Korem 161/Wira Sakti berperan penting dalam pelaksanaanya dengan memfasilitasi seperti persiapkan tempat pelaksanaan serta kelengkapan dalam pertemuan. Pertemuan yang dihadiri sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta Tokoh Adat kedua negara dengan menghasilkan “Pernyataan Bersama” dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh keempat Raja yaitu Raja Liurai, Raja Sonba’i, Raja Amfoang dari Indonesia dan Raja Ambenu dari Timor Leste.
Adapun delapan isi kesepakatan para raja itu yakni Pertama, Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai – nilai adat istiadat yang telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah Meto. Kedua, Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara. Ketiga, Menjalin kerjasama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Keempat, Mengakui dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka. Kelima, Garis batas antar negara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana terjadi selama ini, melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan. Keenam, Hasil pertemuan perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kedua negara. Ketujuh, Mendorong pemerintah kedua negara agar memfasilitasi pertemuan serupa pada tahun 2018 di Ambenu, hal – hal teknis terkait kehadiran peserta agar tidak dipersulit. Kedelapan, Mendorong dan mendesak pemerintah kedua negara agar segera menyelesaikan titik – titik batas yang belum diselesaikan.
Delapan poin pernyataan bersama hasil pertemuan Tokoh Adat RI-RDTL, telah disetujui oleh ke-4 raja yang disaksikan oleh tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua negara. Penandatanganan dan sumpah adat telah diikrarkan oleh para raja dengan rasa perdamaian satu hati dan satu jiwa yang mendalam. Point penting dalam kesepakatan ini adalah ungkapan pihak Kerajaan Ambenu dari RDTL mengakui dan memperteguh batas-batas adat antara Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila dan Afo Sila dengan sumpah mereka. Mereka bersepaham bahwa Sungai Noelbesi yang tidak pernah berubah alirannya semenjak kerajaan dahulu sampai sekarang sebagai batas kerajaan Amfoang dan Ambenu yakni sungai besar dan bukan sungai kecil. Hasil kesepakatan yang telah ditandatangi oleh keempat raja yakni Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila dan Afo Sila serta disaksikan tokoh masyarakat yaitu Pater Petrus Salu (moderator RI), Primus Lake (Ahli Sejarah Amfoang Ambenu), Antau Ulan (Moderator RDTL).
Kesepakatan diserahkan oleh Raja Liurai Sila dari RI kepada perwakilan Kementrian Luar Negeri dan Kerjasama RDTL Lisualdo Gaspar dan penyerahan yang sama hasil kesepakatan oleh Raja Ambenu RDTL kepada Perwakilan Kementrian Luar Negeri RI Anad Widagdo. Delapan point kesepakatan bersama antar kedua kerajaan telah sejalan dengan klaim maksimal yang diinginkan Korem 161/Wira Sakti dan akan menjadi acuan dalam perundingan diplomasi antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam negeri dan Kemempolhukam dan Pemerintah RDTL sehingga batas wilayah antara kedua negara ini dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak terjadi permasalahan dimasa yang akan datang.
(Laporan : Erni Amperawati)