Jakarta, Poros Nusantara – Sekapur sirih Acara nobar, diskusi tentang anak disabilitas dan film “Jembatan Pensil” yang diputar di Gedung Krida Bhakti Sekretariat Negara membuka sudut pandang saya bahwa tak selamanya gedung tersebut dipakai untuk acara yang terkait seremoni politik. Tetapi juga mulai dibuka untuk acara yang lebih bersifat kemanusiaan. Memperhatikan anak-anak disabilitas sebagai bagian dari anak-anak bangsa di republik yang kita cintai ini. Film “Jembatan Pensil” ini begitu sangat menyentuh perasaan yang terdalam.
Dikisahkan Ondeng anak berkebutuhan khusus yang telah kehilangan ibunya dari kecil. Dan sering ditinggal ayahnya yang seorang nelayan melaut. Ondeng sangat merasa ketakutan saat cuaca hujan deras dan petir khawatir akan keselamatan ayahnya. Pulau yg ditinggali Ondeng masih lumayan terpencil dengan minimnya sarana transportasi dan infrastruktur. Pulau tersebut memiliki pemandangan alam, laut yang sedemikian indah.
Tiap hari Ondeng bersekolah di sekolah khusus hanya mempunyai satu ruang, satu guru, biliknya terbuat dari papan. Ondeng mempunyai beberapa sahabat baik yg selalu berjalan bersama ke sekolah. Untuk menuju sekolah tiap murid harus menerabas hutan, melewati jembatan kayu yang kecil dan sudah rapuh dengan di bawahnya ada sungai yang cukup dalam. Anak-anak tiap pagi berjalan kaki tanpa alas, sepatu agar awet dipakai saat sekolahnya sudah dekat. Dst . . . dst . . . .
Silahkan menonton saat pemutaran film di gedung bioskop mulai tanggal 7 September 2017. Dari diskusi setelah acara Nobar timbul wacana yang lebih baik bagi para ortu anak disabilitas dan sedikit mendapat pencerahan, terus mempunyai harapan yg baik untuk masa depan anak mereka. Dari Narsum birokrasi pemerintah juga menyatakan bahwa pelayanan atau akses terhadap anak disabilitas masih jauh dari yg diharapkan. Semoga bukan hanya wacana saja mewujudkan masyarakat yg peduli disabilitas.
Memberdayakan mereka sesuai kemampuannya yg amat sangat terbatas dibanding anak-anak normal. Dari Narsum yg mewakili organisasi persatuan ortu anak berkebutuhan khusus tersebut juga mengusulkan ke pemerintah membuat bengkel-bengkel pelatihan kerja buat anak yang sudah selesai SMA LB, stop bullying terhadap anak disabilitas, kartu khusus buat disabilitas, bahkan diusulkan berkiblat ke negara maju dalam pengurusan anak-anak disabilitas. Seperti dibuatkan area taman bunga dari menanam, merawat dan lain lain dikerjakan oleh para disabilitas.
Membuat lembaga perwalian untuk anak disabilitas jika sampai ortunya meninggal duluan anak tersebut tetap ada yang memelihara karena biasanya dijauhi oleh sanak saudaranya. Itu bagi yang orang tuanya kaya. Bagaimana dengan para disabilitas yang orang tuanya hanya tukang becak, maupun yg prasejahtera? Apalagi yang tinggal di pulau terpencil jauh dari Ibukota. Sementara untuk biaya perawatan anak disabilitas itu rata-rata sekolah atau asramanya masih sangat mahal, jarang, minim fasilitas.
Untuk biaya terapi juga masih mahal dan biaya kesehatan anak disabilitas belum bisa tercover sepenuhnya oleh BPJS. Dan guru-guru juga amat terbatas yang mau mengajar di sekolah khusus jika bukan dari panggilan hati nurani. Anak disabilitas tidak bisa memilih untuk dilahirkan pada keluarga kaya, mampu ataupun tidak?
Laporan Lili Judiarti