Headline Nasional Organisasi

GK Gelar Fun Walk dan Doa Untuk mendukung timnas Indonesia lolos piala dunia 2026

Headline Hukum Nasional

Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) di bawah kepemimpinan Ketua Umum Ir. Ali Wongso Sinaga menyatakan sikap tegas menolak terbitnya SK Perubahan SOKSI yang Dinilai Cacat Hukum 

Berita Daerah Headline

Dishub Segel Parkir Ilegal di Cikini Gold Center, DPRD DKI Soroti Potensi Kebocoran Pajak Rp1,4 Triliun

Berita Headline Umum

Sea World Ancol Genap 33 Tahun: Hadirkan Hiu Berjalan Halmahera sebagai Biota Baru

Berita Headline Umum

BPH Migas Luncurkan Logo Baru: Simbol Transformasi dan Ketahanan Energi Nasional

Daerah Headline Pemerintahan Peristiwa

Gerakan Rakyat Aceh Desak KPK Panggil Gubernur Sumut Terkait Dugaan Korupsi Proyek Jalan

Berita Headline

Kasad Hadiri Battle of The Band Festival, Ajang Kebersamaan TNI dan Pegiat Musik

Daerah Headline

Perkuat Kerjasama, Perkumpulan Operator Wisata Dieng Gandeng Disparbud Wonosobo dan Banjarnegara

Headline Nasional Pancasila

Romo Kefas: “Pancasila Jantung Bangsa, Jangan Lengah!” – Refleksi Hari Kesaktian dari LKBH Pewarna Indonesia

Berita Headline Pemerintahan

UMKM Batik Laweyan dan SpaFactory Bali Torehkan Sejarah: Raih Sertifikasi RSPO di INACRAFT 2025

“Pariwisata Bukan Komoditas! Pansus TRAP dan Hakim MK Bicara Masa Depan Bali”

Jelajahnusantara.co.id| Denpasar – Museum Agung Pancasila, Renon, kembali menjadi ruang lahirnya perbincangan kritis soal arah bangsa. Sabtu (4/10), dua sosok “pendekar hukum” hadir dalam forum diskusi kebangsaan: Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S. dan Ketua Pansus Tata Ruang, Aset Daerah dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha, S.H., M.H.

Pendiri Museum Bung Karno, Ida Bagus Dharmika alias Gus Marhaen, menegaskan forum ini bukan sekadar seremonial intelektual, melainkan upaya mencari jalan keluar atas krisis kebangsaan, khususnya bagaimana Bali mempertahankan jati diri di tengah kepungan modal besar dan kepentingan global.

“Topik utama kita adalah menambah kekuatan APBD Bali sekaligus menjaga keharmonisan Bali agar tidak digerus kepentingan luar yang hanya ingin menjadikan Bali pasar bebas,” ujarnya.

Prof. Arif Hidayat memantik perhatian ketika membahas Putusan MK Nomor 90 dengan standing opinion yang justru melawan arus putusan mayoritas. Sikap itu menegaskan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat politik praktis.

“Putusan yang berbeda harus dipandang sebagai upaya menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar angka mayoritas,” tegasnya.

Diskusi meluas ke soal tata ruang Bali, khususnya pasca-bencana banjir yang memperlihatkan rapuhnya fondasi pembangunan. Prof. Arif mendukung kerja Pansus TRAP DPRD Bali yang berani menyentuh isu sensitif soal aset dan perizinan.

Made Supartha memaparkan kerja Pansus TRAP yang fokus pada penertiban tata ruang dan aset daerah. Namun ia mengingatkan, pariwisata Bali tidak boleh semata diposisikan sebagai mesin uang.

“Pariwisata Bali hanya akan bertahan jika berbasis lingkungan, kebudayaan, dan adat istiadat. Jika tidak, maka Bali hanya jadi panggung kapitalisme global,” katanya.

Penulis: AxnesEditor: Axnes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *