BANDUNG – Wacana efisiensi anggaran pemerintah yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi baru-baru ini memicu perdebatan hangat di kalangan insan pers. Dalam sebuah tayangan di media sosial, Dedi menyatakan bahwa kerja sama pemerintah dengan media pers dinilai tidak efisien dan memboroskan anggaran. Sebagai gantinya, ia menyarankan pemanfaatan media sosial yang dinilai lebih murah dan langsung menjangkau masyarakat.
Namun, pernyataan itu tidak serta-merta diterima begitu saja. Sejumlah kalangan menilai, pandangan tersebut tidak memperhitungkan fungsi strategis media pers sebagai pilar demokrasi, serta peranannya dalam menjaga kualitas informasi yang beredar di ruang publik.
Media Sosial Bukan Satu-satunya Solusi
AYS Prayogie, Pemimpin Redaksi sekaligus Ketua Umum Media Independen Online (MIO) Indonesia, menyampaikan keberatannya atas pernyataan Gubernur Dedi. Menurutnya, perbandingan antara media sosial dan media pers perlu dikaji secara lebih mendalam, dengan memperhatikan prinsip kerja jurnalistik yang diatur dalam regulasi perundang-undangan.
“Media pers memiliki mekanisme verifikasi yang ketat sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Setiap informasi yang disampaikan ke publik harus melewati proses konfirmasi dan validasi,” ujar Prayogie.
Berbeda dengan media sosial, lanjutnya, siapa pun dapat mengunggah konten tanpa proses verifikasi. Hal ini menjadikan media sosial rentan menjadi ladang subur penyebaran informasi keliru atau bahkan hoaks.
“Media sosial memang murah dan mudah, tetapi risiko informasinya tinggi,” tambahnya.
Kualitas, Jangkauan, dan Interaksi
Dari sisi kualitas konten, media pers digital umumnya menyajikan informasi yang telah disunting dan disusun secara naratif, berimbang, serta memperhatikan akurasi. Sebaliknya, konten di media sosial sangat bergantung pada siapa yang mengunggah, dan lebih berorientasi pada engagement atau keterlibatan pengguna ketimbang akurasi isi.