Jakarta, Poros Nusantara – Pelaksanaan Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Ethnis masih banyak kendala dan masalah di Lapangan. Menurut data yang dikeluarkan Komnas HAM, sedikitnya ada 101 pelanggaran ras dan etnis dalam kurun waktu 2011-2018.
Hal ini bisa dilihat dari beragam aduan publik yang masuk ke Komnas HAM berupa pratik diskriminasi, seperti pembayasan layanan publik, maraknya politik etnisitas atau identitas, pembubaran ritual adat, diskriminasi hak atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minoritas dan akses ketanegakerjaan yang belum berkeadilan. Demikian diungkapkan Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM kepada awak media di Jakarta, Jum’at (16/11/2018), di Jakarta.
Guna mengetahui lebih lanjut, pelanggaran etnis dan ras di masyarakat, Komnas HAM telah menggelar ini survey bersama Litbang Kompas. “Survei ini secara khusus bertujuan mengevaluasi penilaian publik terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dengan menggali persepsi, mengukur kepuasan dan mengeksplorasi ekspektasi. Penelitian ini diajukan sebagai bahan refleksi 10 tahun pelaksanaan Undang-Undang No.40 Tahun 2018,” kata Mochhamad Chairul Anam, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM.
Lebih lanjut, Chairul Anama menjelaskan survei yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif melalui wawancara tatap muka terhadap 1207 responden di 34 Provinsi yang dilaksanakan pada 25 November – 3 September 2018. “Responden berusia 17-65 tahun yang mewakili latar belakang sosial ekonomi beragam (bawah-menengah-atas) dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang proporsional,” ujarnya.
“Dalam survei tersebut, Komnas HAM menemukan bahwa berbagai perbedaan latar belakang ras dan etnis diakui responden sebagai hal yang menguntungkan atau memudahkan. Dalam berbagai konteks, situasi ini menginformasi bahwa primordialisme masih menjadi nilai penting yang dipegang oleh masyarakat,” paparnya.