KUPANG, POROS NUSANTARA – Tahun 2017 pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Mikro dan Kecil (IMK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati peringkat kedua secara nasional setelah Kalimantan Utara. IMK NTT mencapai nilai sebesar 25,68 di bawah Kalimantan Utara yang mendapatkan perolehan skor 26,87. Empat Provinsi dengan pertumbuhan IMK negatif adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Jawa Tengah.
Demikian diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, Maritje Pattiwaellapia,SE,M.Si dalam Kegiatan Jumpa Pers di Ruang Rapat BPS Provinsi NTT, Kamis (1/2/2018).
Menurut Maritje yang didampingi Kepala Bidang (Kabid) Statistik Produksi, Sofan,S.Si,M.Si dan Kabid Statistik Distribusi, Demarce Sabuna, SST SE, M.Si, menjelaskan, ciri umum dari IMK adalah memiliki pekerja kurang dari 20 orang. Bila jumlah pekerjanya lebih dari 20 orang, industri tersebut dikategorikan Industri Manufaktur Besar dan Sedang (IBS). Untuk IBS, NTT, jelas Maritje, menempati urutan ke 12 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan nilai sebesar 6,87. Urutan pertama ditempati Provinsi DKI Jakarta dengan skor 14,10. Enam Provinsi dengan pertumbuhan IBS negatif adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Aceh.
Wanita berdarah Maluku tersebut menjelaskan, pertumbuhan IMK tertinggi pada tahun 2017 terjadi pada triwulan IV yakni sebesar 10,29 %. Dibandingkan dengan triwulan IV Tahun 2016, terjadi peningkatan pertumbuhan sebesar 19,67 %. Pada Triwulan IV ini, pertumbuhan Produksi IMK menurut jenis industri yaitu industri percetakan dan reproduksi media rekaman sebesar 90,50%, industri barang galian bukan logam senilai 31,88%, industri pakaian jadi sebesar 29,30% dan industri makanan senilai 12,02 %. Untuk industri kayu (tidak termasuk furniture) mengalami pertumbuhan negatif dengan nilai minus 13,22% dan industri minuman sebesar minus 14,96 %,”.
Sementara inflasi di Provinsi NTT, katanya, untuk periode Januari Tahun 2018 adalah sebesar 0,94 %, lebih tinggi dari inflasi nasional senilai 0,62 %. Menurut Maritje, inflasi di NTT tersebut masih dalam taraf wajar, namun semua pemangku kepentingan terkait diminta untuk tetap memantau perkembangan tersebut. “Inflasi Januari 2018 di NTT terjadi karena adanya kenaikan indeks harga pada lima dari tujuh kelompok pengeluaran dengan kelompok bahan makanan menjadi penyumbang inflasi tertinggi sebesar 5,26 % disusul kelompok makanan jadi sebesar 0,81 %. Karena itu, saya mengharapkan agar Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk terus berperan aktif memantau perkembangan harga kebutuhan pokok setiap bulannya,” pungkas Maritje.
Hadir pada kesempatan tersebut adalah Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi NTT, perwakilan dari Bank Indonesia, insan pers dan undangan lainnya.