Opini : LogikaBengkok Mantan Walikota Padang (Oleh Supriyadi)

  • Bagikan

porosnusnatara.co.id – Setelah mencermati tayangan video pernyataan dan wawancara dengan berbagai media daerah dan ibukota, mantan Walikota Padang dan Gubernur Sumbar – yang sama sama menjabat dua periode – dapatlah diambil kesimpulan bahwa warga Non Muslim di wilayah Sumatera Barat sulit untuk mendapat keadilan jika kasus jilbabisasi di SMK Negeri 2 Padang ditangani penguasa lokal di provinsi dan kota setempat.

Artinya Pemerintah Pusat di Jakarta harus turun tangan. Perlu mengirim tim investigasi independen.

Dari Ombusman, KPAI, dan Komnas HAM suaranya sama : ada pelanggaran HAM dan pelanggaran Undang undang.

Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga menegaskan larangan bagi sekolah membuat peraturan yang bertentangan dengan undang undang dan pelakunya akan ditindak tegas.

Terkuaknya skandal di SMK Negeri 2 di Padang semoga menjadi pintu masuk untuk koreksi total secara nasional. Di semua sekolah negeri yang memaksakan jilbab sebagai seragam sekolah – yang juga marak diterapkan di wilayah lain.

Memaksa pemakaian jilbab kepada kaum muslimah saja salah – apalagi kepada non muslimah!

ALIH ALIH minta maaf karena membuat kebijakan intoleran yang berdampak merugikan umat non muslim – dan jadi skandal nasional – Walikota Padang Dr. Fauzi Bahar MSi malah mencari cari pembenaran sebagai dalih kekuasannya.

Mantan Walikota yang bertanggung jawab pada “jilbabisasi” anak anak sekolah negeri di Kota Padang ini mengajukan logika aneh dan absurd atas kebijakan intoleransinya – sebagaimana bisa dipantau dari wawancara di beberapa teve swasta di Youtube.

Dia mengaku pernah jadi guru, anggota ABRI (Letkol AL) tapi wawasan pengetahuannya tentang agama, demokrasi, kebangsaan dan hirarki perundang undangan nampaknya cetek. Akibatnya hasil penerapan aturannya pun “ngasal”.

Politisi PAN ini adalah jadi walikota yang dipilih langsung hingga dua periode (2004 – 2014). Tapi jadi heboh melahirkan kebijakan diskriminatif. Sektarian.

Walikota yang namanya disebut dalam kasus korupsi PDAM ini yang harus bertanggung jawab di balik heboh kontroversi sekolah negeri di kotanya.

Dalil pertama atas kebijakan yang pernah digulirkannya – dia menyebut sudah 15 tahun program jilbab di sekolah muslim dan non muslim, di wilayah Padang – aman aman saja. Dia tidak tahu bahwa “aman” dan “benar” tidak sama. Beda pasal.

Sebelum dijatuhkan dari kekuasaannya, tahun 1998 – selama 32 tahun berkuasa, Suharto “aman aman saja”. KKN puluhan tahun “aman aman saja”. Aparatnya main culik, menghilangkan nyawa orang, main gusur dan semena mena, juga “aman aman saja”. Setelah jatuh kita jadi tahu dzalimnya rezim Suharto. Banyak melakukan kebijakan dan tindakan yang tidak benar.

Dalil ke dua, yang protes hanya satu orang, ribuan menurut saja. Dia ngawur! Diam belum tentu menerima. Diam bisa karena tidak berdaya. Dalam tekanan kekuasaan dengan perintah resmi – jutaan orang juga bisa dibuat tidak berdaya.

Penjajah Belanda ratusan tahun juga bisa dianggap “tidak ada masalah”. Sebagian pribumi “nrimo” aja – karena tidak berdaya. Masalahnya nampak setelah dilawan secara kompak hingga Indonesia merdeka.

Dalil ke tiga, “kearifan lokal”. Ini logika bengkok! Jilbab bukan kearifan lokal dan bukan budaya lokal.

Kuliner rendang, telor balado, gulai cincang, gulai tunjang, kain tenun songket, tari piring, tari payung, tari saputangan, itu barulah kearifan lokal. Jilbab dan niqab bukan.

Jilbab itu kearifan jazirah Arab. Dan bukan hanya milik Islam, melainkan juga Kristen, Yahudi, Majusi, dll – di jazirah Arab. Bagaimana dia memanipulasi kearifan Arab sebagai kearifan lokal? Kearifan Padang? Tanda tanda wawasan dan kecerdasan minim.

Alasan lain, karena alasan DBD dan demi keamanan karena tindak kriminalitas meningkat, pernah ada perkosaan di angkutan umum, menghilangkan jurang kaya miskin, menutupi perhiasan, bullying, dll.

Dalam hal perkosaan – jika benar dia menyabet gelar doktor, dia harusnya tahu bahwa motif kasus perkosaan bukan karena penampilan dan pakaian – tapi karena kekuasaan. Dan pengendalian diri pelaku.

Perkosaan adalah pemaksaan kehendak dari pihak yang kuat dan berkuasa (powerfull) kepada yang lemah dan tak berdaya (powerless).

Di Arab Saudi, TKI yang tertutup pakaiannya dari ujung kepala hingga kaki banyak juga yang diperkosa oleh majikannya. Karena posisi majikan “powerfull” (kuat, berkuasa). Sedangkan TKI “powerless” (lemah, tak berdaya).

Sopir angkot laki laki di tempat sepi adalah pihak yang kuat (powerfull) dan penumpang perempuan yang sendirian adalah pihak yang lemah (powerless) .

Ada banyak kasus ustadz yang memperkosa santrinya atau pendeta melecehkan jemaahnya, juga bukti bahwa perkosaan lebih banyak dilakukan oleh pihak “powerfull” kepada “powerless”. Motifnya bukan agama dan bukan pakaian. Kurang beragama apa ustadz dan pendeta?
Memangnya di pesantrean dan gereja, santri dan jemaahnya pakai rok mini, tank top, no bra?

TAK KURANG bengkoknya argumen Gubernur Sumatra Barat, Irwan Prayitno yang pendidikannya S3. Bahkan bergelar profesor. Dia menyebut selama ini penggunaan jilbab di sekolah “tidak ada masalah”.

“Sepuluh tahun saya jadi gubernur tidak masalah, ” katanya. Artinya, diskriminasi terhadap siswi non muslim di sekolah negeri di Sumatera Barat sudah 10 tahun dan dianggap tidak ada masalah.

Dia sebut memaksa non muslim pakai jilbab, memang salah – ” tapi selama ini tidak ada masalah”.

Bingung ‘ kan?!

Politisi PKS ini juga menyebut jilbab sebagai “kearifan lokal” sesuai spirit (warisan Perang Padri) di Minangkabau, “Adai Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah” (adat bersendikan syariah, syariah bersendikan kitab Allah).

Kenapa jilbab baru muncul dan marak di era 1990an? Kenapa bukan dari abad 7 Masehi, ketika Islam masuk tanah Minangkabau – sebagaimana tercatat sejarah? Atau sesudah perang Padri di pertengahan abad 18 itu?

Saya tampilkan di postingan ini foto dua keluarga tokoh ulama dan intelektual kebanggaan Minangkabau Buya Hamka dan Moh Natsir bersama keluarganya. Dua dua keluarga ini – seperti yang nampak difoto – tak ada yang berjilbab.

THE BEST religion is the least religion – kata orang bijak di abad 20

Nabi Muhammad SAW adalah pembawa ajaran kebenaran – bukan Raja.

Muhammad SAW diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak – moralitas, bukan membangun negara.

Islam yang dibawa Muhamad SAW adalah agama – bukan sistem pemerintahan.

Karena itu – ajaran Islam sebaiknya jangan dilibatkan dalam sistem pemerintahan, melainkan mendidik akhlak para penguasanya agar bisa membuat kebijakan yang bisa diterima semua penganut agama – mengayomi semua umat. Bukan untuk mengistimewakan satu agama dan mendiskriminasi agama lain.

Indonesia bukan negara agama. Indonesia adalah negara aman dan damai bagi banyak agama. Bukan milik satu agama.

Dengan ideologi Pancasila yang telah disepakati pendiri negara ini – negara Indonesia BerKetuhanan Yang Maha Esa, Ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manjaga Persatuan, Musyawarah dan menjunjung Keadilan bagi seluruh rakyat .

Tak ada pembenaran warga mayoritas mengintimidasi kaum minoritas.

Semua umat beragama berkedudukan setara. Tidak sama tapi setara. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lain.

Pemerintahan desa, kota dan negara sebaiknya dikelola oleh manajemen modern. Dengan ilmu tata kelola yang bisa diambil dari negara mana saja yang penting efektif dan efisien.

Polisi dan hakim tidak perlu mengutip ayat suci dan menyebut agama untuk menghukum pencuri, penganiaya dan pemerkosa, penyerobot tanah negara. Atau pelanggar lalu lintas. Secara logika dan undang undang yang dirumuskan bersama, sudah salah.

Mengimbau – yang dalam praktik lapangannya memaksa dan mewajibkan – siswi non muslim pakai jilbab, itu jelas salah!

Tapi mengapa dianggap “tidak ada masalah” ?

Piye iki? Onde Mande! *

Supriyadi*

Martosuwito

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *