Meminimalisasi Konflik Pertanahan, Kementerian ATR/BPN Kaji Ulang Undang-Undang

  • Bagikan

Porosnusantara.co.id, Jakarta – Pembangunan infrastruktur dalam hal ini yang diperuntukkan bagi kepentingan umum dilakukan dengan menggunakan tanah negara dan tidak terlepas dari ketersediaan tanah. Namun dengan bertambahnya kebutuhan akan tanah yang menyebabkan tanah semakin terbatas, hal inilah yang melatarbelakangi dibuatnya kebijakan untuk menggunakan tanah masyarakat yang telah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.

Tanah yang sudah dilekati dengan Hak Milik merupakan salah satu contoh kasus yang paling sering menimbulkan konflik antara Pemerintah dengan masyarakat pemegang Hak Atas Tanah. “Pada saat ini banyak sekali perencanaan pembangunan yang terkendala dikarenakan terbatasnya ketersediaan tanah yang dapat dipergunakan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional,” ujar Himawan Arief Sugoto.

Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam sambutannya pada pembukaan kegiatan Konsultasi Publik Mengenai Kajian Pembaruan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, Rabu (24/4) di Hotel Atlet Century, Jakarta.

Himawan Arief Sugoto juga mengungkapkan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut belum efektif dilaksanakan. “Seiring berjalannya perkembangan yang ada, saat ini kita juga telah memiliki Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum,” sahut Himawan Arief Sugoto.

Tambahnya, mengingat hal tersebut perlu dilakukan kajian untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan pembaruan pengaturan mengenai pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. “Pada saat ini kami (pemerintah) bersama DPR sedang membahas rancangan Undang-Undang Pertanahan. Jadi rancangan Undang-Undang Pertanahan diharapkan dapat menjadi suatu kemajuan dalam pembangunan nasional nantinya”, ujar Himawan.

Pada kesempatan yang sama Aslan Noor selaku ketua panitia dan Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat mengatakan bahwa agar dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada saat ini, maka UU No 20 Tahun 1961 perlu dikaji kembali. “Dalam hal ini tentunya berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis,” kata Aslan Noor.

Dengan hadirnya peserta sebanyak 150 orang, tentu Ketua Panitia berharap akan ada saran dan masukan dari kalangan akademisi maupun praktisi guna penyusunan konsep Naskah Akademik dan rancangan revisi (pengganti/perubahan) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.

Peserta Konsultasi Publik berasal dari kalangan praktisi seperti Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama, Pejabat Administrator, Pelaksana dan Pejabat Fungsional di lingkungan Kementerian, Kepala Kantor Wilayah BPN, Kepala Kantor Pertanahan. Di samping itu terdapat juga kalangan akademisi yang merupakan Dekan dan Dosen Fakultas Hukum dari 40 universitas di Indonesia.

Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah agar kita memahami bahwa pencabutan hak atas tanah jangan sampai menimbulkan kesewenang-wenangan oleh pemerintah tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat sebagai pemiliknya. Perlu diformulasikan suatu upaya _win-win solution_ baik bagi pemerintah dalam upaya menjalankan pembangunan maupun bagi masyarakat agar tidak kehilangan haknya tanpa diberikan ganti kerugian. (Red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *