JAKARTA, POROS NUSANTARA – Bergulirnya era reformasi semua sendi kehidupan mengalami perubahan. Termasuk dalam hal perburuhan, jika selama pemerintahan orde baru berlangsung, buruh selalu mengalami tekanan dan intimidasi dalam menyalurkan aspirasi untuk menuntut hak-haknya. Banyak terjadi persekongkolan antara pengusaha dengan penguasa untuk meredam gejolak buruh yang menuntut kenaikan upah atau hak-hak lainnya yang dikebiri.
Tak jarang dalam perjalanannya buruh sebagai pihak yang lemah tak jarang mendapat perlakukan kasar dari orang-orang diduga suruhan pengusaha. Salah satu peristiwa demonstrasi yang menghebohkan dunia atas ketenagakerjaan Indonesia, dan salah satu demonstrannya yang melegenda karena mergang nyawa gara-gara memperjuangkan hak-haknya adalah Marsinah.
Gadis kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk, pada 10 April 1969 itu harus meregang nyawa pada 8 Mei 1993, tak jauh dari ulang tahunnya yang 24 tahun . Dia merupakan aktivis dan buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelum ditemukan tewas dia menghilang selama tiga hari, kemudian mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, Desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat yang dilakukan oleh para penculiknya.
Atas perjuangannya yang tak ringan itu Marsinah memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien (pejuang hak azasi manusia/HAM) pada tahun yang sama. Sementara kasusnya yang menimpa sebagai simbol pengorbanannya yang di luar batas kemanusiaan, menjadi catatan tersendiri bagi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dikenal sebagai kasus 1993.
Menilik dari cerita kelam perburuan Indonesia ini, tidak lain karena adanya tarik-menarik dua kepentingan yang sulit disatukan, antara buruh dan majikannya. Seorang pengusaha selalu berprinsipkan hukum ekonomi, yakni mengeluarkan modal sekecil-kecilnya tetapi mengharapkan untung sebesar-besarnya. Sebaliknya, bagi buruh selalu menginginkan upah yang besar sesuai dengan naiknya berbagai kebutuhan hidup.